“Jeritan Anak Yang Malang“

>> Sabtu, 30 Agustus 2008

Setiap anak mempunyai cita-cita yang tinggi dan harapan yang besar terhadap masa depannya. Tapi tidak dengan diriku yang hanya anak dari seorang petani. Angan-anganku yang besar tetap tidak mampu melawan kerasnya dunia. Ayahku meninggal saat aku berusia tiga tahun. Kata ibuku, ayah meninggal karena ketidakmampuan kami untuk memberikan pengobatan yang layak kepadanya. Kenyataan itu membuat semua harapanku untuk bersekolah menjadi sangat jauh. Sering aku mencoba membujuk Ibuku untuk menyekolahkanku tetapi ia menganggap hal itu tidak penting karena keadaan kami yang selalu kekurangan.

Oleh karena itu, dikala pagi hari saat anak-anak lain pergi bersekolah aku hanya memandangi mereka dari kejauhan. Dengan sedikit iri aku membayangkan diriku menjadi mereka, “alangkah senangnya aku apabila bersekolah”. Tapi angan tetaplah bukan kenyataan.. dan kenyataannya aku harus membantu ibuku untuk berjualan sayur-mayur kepasar. Sayur-mayur yang kami jual kepasar didapatkan dari kebun kami yang kecil peninggalan ayahku. Meskipun kecil tetapi cukup untuk menanam beberapa jenis sayuran. Waktu demi waktu terus berjalan hingga suatu hari kami mengalami musibah. Saat itu beberapa orang dari kota datang kekampungku, mereka menawarkanku dengan ibu untuk menjual tanah peninggalan ayahku itu.
Ibu awalnya menolak tawaran dari orang tersebut, namun kelihatannya mereka tidak mau menyerah begitu saja. Setiap hari mereka sering mengunjungi pondok kami dengan bujuk rayu yang berbeda-beda. Kadang mereka menawarkan ibuku pekerjaan yang layak dikota, rumah, serta fasilitas lain yang belum kami pernah rasakan sebelumnya. Ibuku pernah menanyakan kepadaku “Le.., kamu mau kalo kita pindah kekota?”. Tapi aku yang saat itu masih belum bisa memutuskan hanya menyerahkan keputusan kepada Ibuku. Setelah berfikir tentang masa depanku pada akhirnya Ibuku menerima tawaran dari orang kota itu.
Tanah kami dibeli oleh orang kota itu dengan harga yang tidak seberapa, dan ia lantas mengirimkan kami kekota. Alih-alih untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dikota ternyata sesampainya kami diterminal kami hanya ditelantarkan begitu saja. Ingin rasanya kami kembali kedesa, tetapi rumah kami telah diambil alih oleh orang kota yang ternyata tidak bertanggung jawab itu. Oleh karena itu terpaksa dengan membawa buntalan yang berisi baju dan sedikit uang hasil penjualan tanah kami lantas mencari rumah kontrakan sederhana untuk tinggali. Kota yang begitu besar menyeret kami kesebuah rumah kontrakan kayu didaerah kumuh yang terletak dibawah jembatan. Meskipun kecil namun rumah itu cukup layak untuk aku dan ibuku tinggali.
Pemilik kontrakan, Ibu Sumiran cukup baik terhadap aku dan ibuku. Selain ditawari pekerjaan uang kontrakan rumah kamipun dapat dibayarkan secara mencicil. Ibuku yang saat itu tidak memiliki pekerjaan langsung menerima tawaran Ibu Sumiran bekerja sebagai tukang cuci baju dirumahnya. Sedangkan aku...., aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan karena kebisaanku hanya berladang dan tidak ada keahlian yang lain. Untungnya dibawah jembatan itu aku memilki teman yang senasib denganku. Tago dan Rido itulah nama kedua temanku yang selalu menemaniku untuk bermain. Nasib mereka tidak jauh berbeda denganku sama-sama miskin dan tidak pernah mengenyam pendidikan.
Suatu hari Tago dan Rido mengajakku untuk bekerja bersama mereka sebagai seorang pemulung. Dengan karung dan panjung kami bertiga berkeliling kota untuk mencari sisa-sisa sampah yang dapat dijual. Setiap hari kami bertiga memulung sampah dari satu tempat ketempat lain. Uang hasil kerja kerasku memulung selalu kuserahkan pada ibuku untuk menambah-nambah uang kebutuhan kami. Sebenarnya Ibuku tidak tega melihatku memulung seperti itu tapi karena keadaan kami itu membuat ibuku tidak dapat melarangku untuk memulung.
Menjadi pemulungpun ternyata tidak semudah yang dibayangkan olehku. Kadang aku berserta kedua orang temanku harus berhadapan dengan pemulung lain untuk berebut barang, tidak jarang barang hasil kami memulung dirampas oleh kelompok pemulung lain. Tidak hanya itu kami terkadang harus berkejar-kejaran dengan para satpol pp yang sering melakukan razia. Tetapi mungkin tuhan masih sayang kepadaku sehingga setiap razia aku tidak pernah sampai tertangkap.
Tahun berganti tahun kehidupan kami dikota terus berjalan dengan perjuangan keras. Tak terasa umurku sudah menginjak enambelas tahun dan ibukupun bertambah tua dan sakit-sakitan. Sering aku meminta ibuku untuk berhenti bekerja namun ia selalu menolak permintaanku itu. Ia hanya berkata “Le... selama ibumu ini masih hidup ibu ingin selalu bekerja supaya kehidupan kita bisa berubah”. Aku yang mendengarkan perkataan Ibuku itu selalu ingin menangis, tetapi aku tahan rasa tangisku itu karena aku tidak mau membuatnya ikut bersedih.
Hari itu pagi-pagi sekali aku pergi sendirian kepasar tempat aku berserta teman-temanku memulung agar mendapatkan uang yang banyak. Kebetulan seingatku pada Hari itu ibuku sedang berulang tahun jadi aku ingin menghadiahkannya makanan yang enak. Dengan semangat yang meledak-ledak aku memungut sampah yang berceceran dipasar itu. Namun sesampainya disuatu tikungan pasar yang masih sepi, kudengar suara gaduh kemudian kulihat terjadi perkelahian antara seorang preman dan pemilik toko. Preman itu menghunuskan pisau belati yang ditaruhnya di pinggang dan menusukkan pisau itu tepat didada pemilik toko itu.
Aku yang terkejut kemudian mencoba minta pertolongan. Namun mungkin karena saat itu pasar sedang sepi teriakanku tidak terdengar oleh seorangpun. Tiba-tiba tanpa kusadari preman itu telah membekap mulutku “Heh... diam atau kutusuk kau..”. Aku yang ketakutan langsung terdiam, sesekali kucoba melihat wajah preman itu. Setelah kuperhatian secara seksama ternyata preman itu ialah Gasim tetanggaku yang tinggal tepat disebelah rumahku. “Bang Gasim...?” menatap matanya. “Liman... Heh dengerin yah awas kalau kau bilang sama orang-orang aku yang menusuk bapak itu, kalau kau sampai berani kubunuh kau dan ibukau yang tua itu” mengancam dengan tatapan marah. “Ampun bang jangan bunuh ibuku..”jawabku ketakutan. “Nah sekarang kau pegang pisau ini dan jangan berteriak kalau orang tanya siapa yang membunuh pemilik toko itu bilang kau yang membunuh... awas kau macam-macam kubunuh ibumu..”menyerahkan pisau itu. “iya bang....” dengan sangat ketakutan kuterima pisau yang masih berlumuran darah segar itu. Preman itu kemudian lari keluar pasar itu mencari tempat yang ramai kemudian berteriak “Tolong... tolong .... ada orang dibunuh...” . Mendengar preman itu orang-orang berdatangan kelokasi itu. “Astaga Liman kau membunuh.....” teriak seseorang yang mengenalku. “Bukan...bukan... aku...aku... tidak...” jawabku menatap preman yang melotot kearahku. Tidak berapa lama Polisi datang dan menangkapku. Dikantor polisi aku diinterogasi aku disuruh mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak kulakukan. Tetapi karena takut ibuku dibunuh aku terpaksa melakukannya.
Dari beberapa kali persidangan yang dilakukan aku diganjar hukuman 5 tahun penjara. Selama melalui masa tahanan itu ibuku acapkali berkunjung untuk membawa makanan untukku. Ia sering menanyakan alasan tindakanku melakukan pembunuhan itu, tetapi aku tidak dapat berkata-kata dan hanya dapat diam seribu bahasa. Di sel tahanan sering aku menangis membayangkan bagaimana ibuku bekerja sendiri tanpa bantuan aku anaknya. “Ibu maafkan anakmu ini....” teriakku dalam hati.
Empat tahun telah berlalu, tetapi pada satu bulan itu ibu yang sering mengunjungiku tidak pernah muncul lagi menjengukku seperti biasa. Perasaanku menjadi tidak karuan sempat kutuliskan beberapa surat kepada Ibuku namun tidak pernah ada jawaban. Sampai suatu ketika temanku Tago datang menjengukku dan ia membawa kabar duka kepadaku. Ia berkata bahwa satu bulan yang lalu terjadi penggusuran di bawah jembatan dan ibuku berusaha menyelamatkan tempat tinggal kami satu-satunya itu. Akan tetapi karena tidak memiliki daya apapun maka rumah kami diluluh lantakkan. Hal itu membuat ibukku merasa stress dan sakit-sakitan. Tago juga mengatakan ia sebenarnya ingin mengatakan hal ini kepadaku akan tetapi ibuku menghalanginya, ia mengatakan bahwa masalah ini hanya menambah beban anakku dan ia ingin agar aku tidak memikirkan nasibnya.
“Dimana ibuku sekarang go?” memegang kerah baju yang dikenakan Tago erat. “Ibumu.... Ibumu sudah wafat Man...” mendengar ucapan dari sahabatku itu perasaanku hancur, aku menangis dan merasa bersalah tidak dapat membantu ibuku hingga saat ia meninggal. Semenjak mendengar berita kematian ibuku itu pikiranku menjadi tidak jernih aku menjadi nekad mencoba untuk bunuh diri namun seberapa kali kucoba.. tetap tidak pernah berhasil. Jiwaku yang rapuh membuatku menjadi orang stress, kadang aku bicara sendiri, tertawa, dan menangis. Keadaanku itu membuat hukuman yang dijatuhkan padaku berganti dari tahanan LP menjadi pasien sebuah rumah sakit jiwa. Sampai akhir, kenangan yang tersimpan dalam otakku ialah kenangan mengenai ibukku, tak kuperdulikan lagi semua yang terjadi pada diriku karena semua impianku terkubur bersama kematian ibuku. “Ibu maafkan aku, anakmu ini memang tak berguna ibu...” tangisku. “ ibu......” bersama teriakanku itu kuregang nyawaku pada seutas tali yang kugantung tepat didepan kamar perawatanku. Keesokan harinya, jasadku yang terbujur kaku dikuburkan bersama seluruh dukaku tepat disebelah makam ibuku yang kusayangi.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP