“My way.. My Love..."

>> Selasa, 16 September 2008

Aku merupakan anak yang tak diinginkan orang tuaku. Mereka membuangku dipinggiran suatu pasar yang sepi. Namun untungnya aku ditemukan oleh seorang pemulung yang kini menjadi ayahku. Yogi, begitulah ayah angkatku menamaiku. Kami hidup berdua karena istri ayah angkatku memilih meninggalkan ayah karena ia merasa tidak tahan hidup susah. Walaupun begitu ayahku tidak pernah mengungkit-ungkit masalah istrinya itu kepadaku, ia hanya bilang “Sudahlah yang berlalu biarlah berlalu” jawabnya santai.
Karena kehidupan kami yang susah dan serba kekurangan aku memutuskan untuk tidak sekolah dan ikut membantu ayah untuk bekerja. Setiap hari kami memulung sampah dari satu lokasi ke lokasi lain. Aku kasihan melihat ayahku yang setiap hari bekerja untuk mencari sesuap nasi. Tapi satu hal yang membuatku bangga kepadanya yaitu ia lebih memilih bekerja keras ketimbang meminta belas kasihan orang lain.

Tahun berganti tahun ayahku semakin lama semakin tua dan sering sakit-sakitan sehingga ia tidak sanggup untuk memulung lagi. Untuk itu aku yang sudah menginjak usia 19 tahun menggantikan posisi ayahku untuk memulung. Setiap pasar kujelajahi untuk mencari kantong plastic ataupun kardus yang tidak terpakai lagi. Walaupun sedikit kelelahan namun hal itu tidak mengubah semangatku untuk mencari uang sekedar pengganjal perut aku dan ayahku. Suatu hari seorang pemilik toko dermawan bernama H. Akhsan menawariku untuk membantunya mengangkut barang dari truk ke tokonya. Aku sangat senang sekali karena hasil memulung yang kudapat setiap harinya berkisar sepuluh ribu saja sedangkan dengan mengangkat barang aku bisa mendapatkan dua puluh lima ribu per harinya.
Hari-hari berlalu, sakit yang diderita ayahku semakin parah. Aku yang hanya memiliki uang pas-pasan mencoba meminjam uang kepada para tetanggaku namun bukannya mendapatkan uang aku justru mendapatkan hinaan dan cacian. “Orang miskin mau pinjam uang…, bayarnya pakai apa? pakai daun…”seraya mengusirku. Aku bingung saat itu apa yang harus kulakukan. Aku mencoba meminjam uang kepada boss ku H. Akhsan tetapi saat itu ia tidak ada ditempat. Dalam hatiku berkecambuk antara kebingungan dan kemarahan. Bingung karena berfikir bagaimana cara mendapatkan uang untuk mengobati sakit ayahku dan marah pada diriku sendiri mengapa aku tidak mampu memperoleh uang untuk orang yang telah membesarkan aku. “Ayah… walaupun engkau bukan orang tua kandungku tapi aku menganggap engkau sebagai orangtuaku sendiri” tangisku sambil berjalan pulang. Saat itu pikiranku sangat kalut, aku sempat berfikir untuk melakukan tindakkan criminal namun aku teringat perkataan ayahku “Gi semiskin-miskinnya hidup kita… jangan sampai kamu melakukan tindakan yang merugikan orang lain”. Hari itu hujan turun dengan derasnya aku berlari ditengah hujan sambil memikirkan nasib ayahku yang mungkin saat itu menahan sakitnya menungguku pulang.
“Ayah… ayah…. “ teriakku berlari kerumah. Sesampainya digubug kami aku langsung memeluk erat ayahku. “Ayah maafkan anakmu ini yang tak berguna….” Tangisku sambil memeluk erat ayahku. “Jangan menyalahkan dirimu nak, ini bukanlah salahmu. Setiap manusia yang hidup pasti kelak menghadap kepadanya” mencoba menenangkan diriku yang menangis haru saat itu. “Tetapi ini tidak adil… kenapa harus ayah, kenapa tidak aku saja …. orang tuaku saja tidak menginginkanku..”. “Jangan berkata seperti itu gi, tuhan menciptakan manusia itu dengan jalannya sendiri-sendiri” mengusap air mataku. “Gi…, kamu ingat pesan bapak ya… jadilah orang yang berguna bagi orang lain dan satu hal lagi selama ini bapak tidak mempermasalahkan istri bapak untuk meninggalkan bapak karena bapak sangat mencintai istri bapak jadi bapak tidak mau ia menderita karena bapak. Oleh karena itu apabila kelak kamu jatuh hati kepada seorang wanita janganlah kamu menyakiti hatinya…. cinta itu tak mesti harus memiliki uhuk….uhuk…” menahan sakitnya. “Iya pak Yogi akan mengingat semua pesan bapak” melihat bapak yang kesakitan. Tak berapa lama kemudian ayahku wafat tanpa mendapatkan pengobatan apapun.
Seminggu setelah wafatnya ayahku H.Akhsan yang sudah pulang mengetahui wafatnya ayahku datang berserta keluarganya menemuiku. Ia mengucapkan turut berduka cita atas wafatnya ayahku dan ia ingin aku untuk menjadi penjaga tokonya. Tawaran tersebut kuterima dan aku berjanji akan bekerja dengan baik. Beberapa bulan kulalui, aku masih terngiang-ngiang wajah ayahku waktu kami memulung sampah bersama. Aku sekarang merasa sendiri dan sepi tanpa ada satupun keluarga yang kumiliki didunia ini.
Bossku H. Akhsan memiliki seorang anak gadis bernama Indah, wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang ramah membuat ku jatuh hati kepadanya. Namun perasaanku kepadanya hanya kupendam didalam hatiku dan takkan kubagi kepada siapapun. Setiap hari aku memandangi wajahnya walaupun dari kejauhan dan dengan melihat wajahnya semangatku untuk bekerja semakin giat. Namun ternyata nasibku tidak terlalu mujur ia menaruh hati pada pria lain bernama Irwan yang merupakan anak pedagang yang terkenal dipasar itu. Hatiku terasa renyuh, namun sejenak kuberfikir apalah arti diriku seorang pria miskin yang orangtuanya tak jelas dan tidak memiliki apa-apa.
Hari demi hari hubungan Irwan dan Indah semakin dekat. Aku yang menyukai Indah tidak terlalu cemburu melihat kemesraan keduanya karena apapun yang terbaik bagi Indah merupakan hal terbaik bagiku. Sampai pada suatu hari kulihat Irwan berselingkuh dengan seorang wanita lain yang bernama Sintia didepan kedua mataku. Meskipun aku tahu bahwa Irwan selingkuh dengan wanita lain namun aku tidak berani mengatakannya kepada Indah. Hal itu mungkin disebabkan karena aku yakin suatu saat Indah akan mengetahui apa yang diperbuat oleh Irwan kepadanya.
Sore itu aku berjalan pulang menuju rumah, ditengah jalan aku melihat Indah terduduk menangis melihat dari seberang jalan Irwan yang berpelukkan dengan Sintia. Aku menghampiri Indah dan mencoba menenangkannya, tanpa kusadari Indah tiba-tiba merangkulku dalam kesedihannya. “Irwan tega gi...., Irwan bener-bener tega...”keluhnya kepadaku. Aku terdiam sejenak, “Indah ... kamu yang sabar ya...” mengusap air matanya. Dalam hatiku berkecambuk perasaan antara marah karena orang yang kucintai disakiti dan senang karena Indah mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Setelah perasaannya mulai tenang ku gendong ia sampai kerumahnya. Perlahan-lahan ia tertidur dipunggungku sepanjang jalan aku memikirkan “Inikah rasanya putus cinta?”, “Begitu sakitkah rasanya?” aku sejenak membayangkan perasaan yang dirasakan Indah saat itu.
Pada keesokan harinya aku teringat pesan almarhum ayahku sebelum meninggal ia mengatakan “apabila kelak kamu jatuh hati kepada seorang wanita janganlah kamu menyakiti hatinya…. cinta itu tak mesti harus memiliki”. Teringat pesan itu aku berfikir kembali, mungkin saat inilah aku akan tunjukan kepada almarhum ayahku bahwa aku rela berkorban demi orang yang aku cintai seperti yang pernah dilakukannya. Saat itu juga aku bertekad untuk mengembalikan Irwan pada Indah. Untuk memuluskan hal itu aku mencoba mendekati Sintia dengan maksud merebut Sintia dari tangan Irwan agar Irwan kembali kepada Indah lagi.
Lebih dari seminggu aku mencoba mendekati Sintia, perlahan-lahan namun pasti akhirnya Sintia memiliki rasa cinta kepadaku dan dia memutuskan hubungannya dengan Irwan. Rencana yang telah kususun ternyata berhasil, setelah Irwan diputuskan oleh Sintia ia kembali menjalin hubungan dengan Indah. Aku sangat senang ketika melihat Indah tersenyum bahagia bersama Irwan. Meskipun hati kecilku sangat sakit tapi kucoba untuk menahannya sekuat tenaga agar orang yang aku cintai mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari aku. Kuhilangkan perasaan cintaku kepada Indah dan mengalihkannya kepada Sintia namun seberapa sering kucoba tetap tidak bisa. Sehingga satu minggu kujalani hubungan dengannya kamipun putus.
Hari-hari kujalani normal seperti biasa, sampai suatu ketika aku jatuh sakit. Kuperiksakan diriku kerumah sakit dan betapa terkejutnya aku, dokter mendiagnosaku mengidap penyakit kanker otak yang sangat parah. Dokter mengatakan umurku tinggal 3 bulan lagi dan aku harus mencoba dikemoterapi. Aku sangat kebingungan memikirkan nasibku, uang untuk melakukan kemoterapi yang disarankan dokter.. aku tak punya. Sementara gaji ku sebagai penjaga toko tidak cukup untuk melakukan kemoterapi walaupun hanya sekali.
Kubiarkan kanker itu menggerogoti seluruh sel dalam tubuhku sehingga semakin hari tubuhku semakin lemah. Karena aku tidak mau orang lain mengetahui penyakitku, aku berhenti menjadi penjaga toko ditempat H. Akhsan dan memilih untuk beristirahat dirumah menunggu ajal menjemputku. Beberapa kali kusempatkan diriku yang lemah untuk melihat Indah dari kejauhan. Aku sangat merasa senang karena berguna bagi orang yang kusayangi. Tidak terasa 3 bulan berlalu aku yang merasa ajalku datang berbaring didipanku yang rapuh dimakan usia dan disebelahku kuletakkan sepucuk surat yang kubuatkan kepada Indah. Tiba-tiba kepalaku terasa sangat berat seperti mau pecah, darah segar mengucur di mulut dan hidungku kutahan rasa sakit itu dan kubayangkan saat-saat aku melihat Indah tersenyum kepadaku. Dengan senyuman kututup usiaku tanpa penyesalan atas cintaku dan tanpa kemarahan atas kemalangan yang kualami untuk selama-lamanya....

3 komentar:

Unknown 16 September 2008 pukul 06.29  

ampun deh dj


keren nih ceritanya...
tapi q g terlalu suka..
hehehehehehehehe

g suka sama yg terlalu percintaan,,
dah bosan aq
melihat/membaca/mendengarnya

tapi jujur keren...

nb bukan cerita assli ya

Anonim 18 September 2008 pukul 17.05  

ery hoby juga ya bca cerpen

Novantri 19 September 2008 pukul 01.16  

Cie ileh,,

Ceritanya kagak nahan..

G'mana klo ni crita kita bikin film lagi?


Km lagi yang jadi sutradarax..

Aq jadi produser pelaksanax, g'mana??

Sukses Buat Ery

:D

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger template Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP